Notification

×

Membangun Ibu Kota Nusantara: Antara Ambisi, Keberlanjutan, dan Keadilan Sosial

Selasa, 13 Mei 2025 | Mei 13, 2025 WIB Last Updated 2025-05-13T14:02:44Z
Della Endangtri



Penulis: Della Endangtri / Wakil Sekretaris Jenderal PP PMKRI

Fakta Line - Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur menjadi proyek ambisius yang menyuarakan semangat baru Indonesia: modernisasi, desentralisasi, dan transformasi hijau. Konsepnya menjanjikan kota hijau, pintar, dan inklusif—sebuah simbol kemajuan peradaban abad ke-21. Namun, di balik gegap gempita narasi kemajuan, terdapat pertanyaan mendasar yang belum sepenuhnya dijawab: sejauh mana IKN dibangun dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial, terutama bagi masyarakat lokal?


Sebagai bagian dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), saya meyakini bahwa pembangunan sejati harus berpihak pada martabat manusia dan kelestarian ciptaan. Pandangan ini sejalan dengan ajaran sosial Gereja Katolik, khususnya ensiklik Laudato Si’ yang menyerukan ekologi integral, yakni pembangunan yang adil secara sosial dan berkelanjutan secara ekologis.


Pemerintah memang menjanjikan IKN sebagai kota pintar dan ramah lingkungan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kontradiksi. Pembangunan masif infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan kantor pemerintahan telah membuka ruang deforestasi, mengancam keanekaragaman hayati Kalimantan, dan mempersempit ruang hidup masyarakat adat. Ketika pembangunan yang mengusung jargon “hijau” justru merusak paru-paru dunia, maka proyek ini bisa berubah menjadi simbol ironi: merayakan kemajuan dengan mengorbankan alam dan manusia.


Lebih jauh, proyek IKN juga membawa beban fiskal yang tidak kecil. Di tengah tekanan ekonomi pascapandemi, pemerintah tetap mengalokasikan puluhan triliun rupiah dari APBN untuk membangun infrastruktur dasar IKN, meski investasi swasta belum jelas wujud dan arah komitmennya. Ini memunculkan pertanyaan: apakah beban jangka panjang proyek ini tidak akan jatuh kembali ke pundak rakyat?


Pemberdayaan Masyarakat Lokal Harus Menjadi Agenda Utama

Dari sisi sosial, IKN juga menyimpan potensi lahirnya ketimpangan baru. Relokasi penduduk, perubahan sosial budaya, dan marjinalisasi masyarakat lokal adalah risiko yang nyata. Kota Balikpapan, sebagai penyangga utama IKN, menjadi cermin dari dinamika tersebut. Di satu sisi, Balikpapan menopang ekonomi Kalimantan Timur melalui lebih dari 4.000 perusahaan industri dan energi. Di sisi lain, masyarakat lokal sering kali hanya menjadi penonton dalam skema besar pembangunan ini.


Kontribusi sosial perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) masih jauh dari memadai. Banyak di antaranya bersifat formalitas semata, tanpa menyentuh akar persoalan seperti pendidikan, keterampilan, dan akses ekonomi yang merata. Padahal, seperti yang disampaikan Soetomo (2011), ketidakberdayaan masyarakat adalah akar dari kemiskinan dan ketimpangan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat lokal harus menjadi agenda utama pembangunan, bukan sekadar pelengkap administratif.


Paradigma pembangunan harus bergeser dari profit-oriented menjadi people-oriented. Perusahaan yang beroperasi di Balikpapan dan kawasan IKN semestinya menjadikan masyarakat lokal sebagai mitra sejajar, bukan hanya objek bantuan. Ini berarti menyediakan pelatihan, alih teknologi, dan peluang kerja bagi pemuda lokal, termasuk mahasiswa-mahasiswa yang menjalankan Program Kerja Praktik (KP), serta kerja sama dengan lembaga pendidikan dalam mengembangkan keterampilan relevan bagi pasar kerja.


Pembangunan yang inklusif tidak bisa hanya mengandalkan investasi dan proyek infrastruktur. Ia membutuhkan partisipasi aktif dan keberpihakan pada rakyat. Dengan merangkul masyarakat sebagai subjek pembangunan, kita dapat menciptakan win-win solution—pertumbuhan ekonomi yang tidak mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.


Pembangunan yang Berkelanjutan

Balikpapan dan Kalimantan Timur secara umum juga memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri hijau dan pariwisata berkelanjutan. Diversifikasi ekonomi dengan mengutamakan prinsip green economy akan membuka peluang investasi sekaligus menjaga ekosistem yang rapuh. Untuk itu, perusahaan harus mengintegrasikan prinsip lingkungan ke dalam praktik bisnis mereka. Eksploitasi sumber daya tanpa perhitungan jangka panjang hanya akan mempercepat kerusakan dan memperdalam kesenjangan.


Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Perusahaan perlu menyadari bahwa keberlanjutan jangka panjang mereka tidak hanya bergantung pada keuntungan finansial, tetapi juga pada hubungan yang harmonis dengan masyarakat lokal. Tanggung jawab sosial perusahaan bukan sekadar beban hukum, tetapi komitmen moral. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sudah cukup kuat sebagai kerangka hukum, namun lemahnya pengawasan dan minimnya partisipasi masyarakat membuat pelaksanaan di lapangan sering tak berdampak. Harus ada transparansi dan mekanisme akuntabilitas yang melibatkan komunitas/masyarakat lokal.


Pembangunan IKN tidak bisa dipisahkan dari dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan di sekitarnya. Bagi saya, IKN tidak boleh menjadi monumen ambisi yang dibangun di atas reruntuhan keadilan dan ekologi. Jika ingin menjadikan proyek ini sebagai simbol kemajuan Indonesia, maka harus dimulai dengan menghormati hak-hak masyarakat lokal, menjaga kelestarian lingkungan, dan menerapkan tata kelola yang partisipatif dan transparan. Keberhasilan IKN tidak akan diukur dari megahnya gedung atau canggihnya teknologi, tetapi dari seberapa besar proyek ini menciptakan keadilan sosial, melestarikan lingkungan, keberlanjutan, dan memberdayakan masyarakat lokal.