![]() |
| Meisatari Putri Vermanari (dok pribadi). |
Meisatari menilai pola penggusuran tongkonan yang terjadi belakangan ini bukan lagi kasus tunggal, melainkan kecenderungan berulang yang meresahkan masyarakat adat. “Ini bukan hanya pelanggaran hak masyarakat adat, tetapi juga mencederai prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial,” ujarnya (5/12/25).
Ia secara khusus menyoroti insiden terbaru dalam eksekusi Tongkonan Kapun—rumah adat berusia lebih dari 300 tahun—yang berujung pada luka-luka yang dialami belasan warga karena tembakan peluru karet.
“Tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun, apalagi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan warisan leluhur, tidak dapat dibenarkan. Penggunaan peluru karet dalam eksekusi tongkonan Kapun adalah tindakan represif yang menginjak martabat masyarakat Toraja,” kata Meisatari.
Menurutnya, penggunaan kekuatan dalam proses eksekusi itu menunjukkan pendekatan yang tidak manusiawi, tidak profesional, dan tidak menghormati nilai budaya serta hak konstitusional masyarakat adat.
Meisatari mengingatkan bahwa tongkonan merupakan pusat identitas, sejarah, dan struktur sosial masyarakat Toraja. Menghancurkan bangunan adat tersebut, katanya, berarti memutus mata rantai kebudayaan yang diwariskan turun-temurun.
“Sengketa tanah harus diselesaikan melalui mekanisme adat dan proses hukum yang adil. Pembongkaran tongkonan harus menjadi opsi paling terakhir—bukan tindakan utama, apalagi disertai kekerasan,” ujarnya.
Sebagai aktivis perempuan Toraja dan lulusan Fakultas Hukum dengan predikat cum laude, Meisatari menegaskan komitmennya untuk terus mengadvokasi perlindungan hak masyarakat adat di Indonesia.
Meisatari mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera:
1. Menginvestigasi dugaan penggunaan kekuatan berlebihan dalam eksekusi Tongkonan Kapun.
2. Mengevaluasi seluruh proses penggusuran tongkonan akibat sengketa tanah.
3. Menjamin proses hukum yang bersih dan tidak dimanipulasi pihak tertentu.
4. Memperkuat peran lembaga adat Toraja dalam penyelesaian sengketa.
5. Mempercepat kebijakan perlindungan rumah adat dan situs budaya oleh pemerintah pusat.
“Pembangunan tidak boleh dijadikan alasan untuk menindas rakyat dan mengikis identitas budaya,” kata Meisatari.
Ia juga menyerukan agar generasi muda Toraja—termasuk perempuan—memiliki kesadaran dan tanggung jawab moral menjaga tongkonan sebagai simbol martabat dan sejarah leluhur.
Meisatari mengajak masyarakat Toraja, baik di kampung halaman maupun di perantauan, untuk mengawal proses hukum dan penyelesaian sengketa tanah agar berjalan adil, transparan, dan menghormati nilai-nilai adat.
“Ketika tongkonan dihancurkan, bukan hanya bangunannya yang hilang—tetapi juga martabat, identitas, dan sejarah kami sebagai masyarakat Toraja,” ujarnya.
