Notification

×

SKP Gereja Trinitas Gelar Sosialisasi TPPO: Waspadai Jerat Perdagangan Orang di Era Digital

Senin, 23 Juni 2025 | Juni 23, 2025 WIB Last Updated 2025-06-22T19:36:18Z

Seksi Keadilan dan Perdamaian (SKP) Gereja Trinitas Paroki Cengkareng bekerja sama dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan menggelar sosialisasi “Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)” pada Minggu, (22/6/2025). Foto: dok SKP Gereja Trinitas
Jakarta, Fakta Line – Seksi Keadilan dan Perdamaian (SKP) Gereja Trinitas Paroki Cengkareng bekerja sama dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan menggelar sosialisasi “Pencegahan dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)”. Kegiatan ini berlangsung pada Minggu, 22 Juni 2025, di Aula St. Eugenius de Mazenod, Gereja Trinitas Paroki Cengkareng, Jakarta Barat.


Kegiatan ini merupakan kolaborasi SKP Gereja Trinitas dengan komunitas Talitha Kum Jakarta, Integritas Justita Madani Indonesia (IJMI), dan Underground Railroad (OUR). Sosialisasi ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya TPPO yang kian marak, terutama dengan iming-iming pekerjaan di luar negeri dan jebakan di media sosial.


Pastor Paroki Gereja Trinitas Cengkareng, Reynold Agustinus Sombolayuk, OMI, dalam sambutannya menyoroti fenomena maraknya pencarian kerja ke luar negeri. Ia mengakui adanya peluang kerja legal, namun juga mengingatkan tentang area "abu-abu" hingga "gelap" yang rawan TPPO.


"Jika kita tidak berhati-hati, niat baik kita untuk mencari nafkah demi diri sendiri dan keluarga bisa berujung pada jeratan jaringan TPPO," ujar Pastor Reynold. Ia menekankan bahwa ketika seseorang terjebak, akan sangat sulit untuk keluar. "Inilah mengapa seminar atau sosialisasi seperti ini penting, agar kita semua semakin terbuka mata dan hati, serta bisa ikut terlibat dalam pencegahan TPPO."


Pastor Reynold juga menegaskan bahwa Gereja tidak melarang masyarakat bekerja di luar negeri asalkan melalui proses yang legal dan aman. Namun, ia mengingatkan agar masyarakat lebih waspada dan cermat. "TPPO adalah kejahatan serius yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran sosial Gereja," tegasnya


Modus dan Komponen TPPO: Kenali Bahayanya!


Theresia Erni dari Integritas Justita Madani Indonesia (IJMI), memaparkan secara rinci modus operandi TPPO. Menurutnya, TPPO kerap melibatkan ancaman, penipuan, dan perekrutan yang bertujuan untuk eksploitasi manusia.


"Tujuan utama dari praktik TPPO adalah eksploitasi, yakni memperlakukan seseorang secara tidak manusiawi untuk dimanfaatkan demi keuntungan pihak lain," jelas Erni. Eksploitasi dapat dilakukan melalui pemaksaan, penipuan, atau memanfaatkan kelemahan korban.


Bentuk eksploitasi pun beragam, mulai dari kerja paksa, kekerasan fisik dan psikis, pembatasan komunikasi, hingga pemaksaan memenuhi target. Erni memberi contoh kasus di mana korban dipaksa bekerja dari pukul 08.00 pagi hingga 02.00 dini hari, disertai ancaman jika target tidak tercapai.


Untuk mengidentifikasi kasus TPPO, Erni menjelaskan tiga komponen utama:


  • Proses: perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan.
  • Cara: menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan.
  • Tujuan: eksploitasi.


Namun, ia menegaskan pentingnya dicatat bahwa untuk kasus perdagangan anak, komponen "cara" tidak berlaku. "Artinya, meskipun tidak ada penipuan atau ancaman, jika seorang anak direkrut dan kemudian dieksploitasi, maka hal itu sudah termasuk TPPO," jelasnya. Persetujuan anak tidak menjadi pembenaran secara hukum karena anak dianggap belum mampu membuat keputusan hukum yang sah.

 

Suster Irena Handayani, OSU, dari komunitas Talitha Kum Jakarta membawa perspektif mendalam tentang TPPO dari kacamata iman. Ia mengawali presentasinya dengan pernyataan yang menggugah, “Meskipun dunia tidak baik-baik saja, kita tetap dipanggil untuk mewartakan kebaikan dan menjadi berkat bagi siapa saja.”


Suster Irena menyoroti bagaimana persoalan perdagangan orang kini merambah ke ranah yang identik dengan hal kudus—pasar, bisnis, kejahatan, dan eksploitasi manusia. “Dunia yang penuh perhitungan cuan, hingga pada titik mengerikan: manusia dijadikan komoditas,” ucapnya.


Ia mengutip sebuah pernyataan yang mencubit kesadaran: “Saya bisa jual keluarga satu-satu, karena manusia itu punya nilai jual.” Suster Irena menegaskan bahwa setiap orang berpotensi menjadi korban, namun juga bisa tanpa sadar menjadi pelaku. "Mungkin bukan menjual manusia secara terang-terangan, tetapi ketika seseorang mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi, dalam bentuk apa pun, itu bisa termasuk dalam tindakan perdagangan orang."


Suster Irena juga menceritakan kisah nyata Paus Fransiskus masih sebagai Uskup di Amerika yang menerima laporan bahwa 135 anak buah kapal asal Indonesia terdampar dan menjadi korban perdagangan orang. “Peristiwa ini menggugah, bahwa TPPO bukan isu jauh, melainkan nyata dan dekat dengan kita,” imbuhnya.


Ia mengakhiri dengan penekanan kuat, "Jual kangkung boleh, jual sepatu boleh, jual hasil panen pun boleh. Tapi jual manusia? Tidak. Tidak boleh. No way."

 

Sementara Indri Elsa Adrianti dari Underground Railroad (OUR) memfokuskan presentasinya pada pencegahan pelecehan seksual anak, khususnya yang melibatkan foto, video, atau gambar digital yang menunjukkan kekerasan seksual.


Indri menyoroti bagaimana pelecehan anak seringkali terjadi melalui media sosial, di tengah maraknya informasi bermuatan dewasa. "Oleh karenanya, peran orang tua dalam pengawasan terhadap anak sangat penting," tegasnya.


Ia menyebutkan media sosial seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, dan Mechat harus dalam pengawasan orang tua karena banyak kasus pelaku melancarkan aksinya melalui platform tersebut, seperti meminta gambar tidak senonoh anak untuk pemerasan.


Sosialisasi ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat tentang ancaman nyata TPPO dan meningkatkan kewaspadaan agar tidak terjebak dalam jaringan yang merugikan dan sulit untuk keluar.

GM