Kegiatan ini merupakan kolaborasi SKP Gereja Trinitas dengan komunitas Talitha Kum Jakarta, Integritas Justita Madani Indonesia (IJMI), dan Underground Railroad (OUR). Sosialisasi ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya TPPO yang kian marak, terutama dengan iming-iming pekerjaan di luar negeri dan jebakan di media sosial.
Pastor Paroki Gereja Trinitas Cengkareng, Reynold Agustinus
Sombolayuk, OMI, dalam sambutannya menyoroti fenomena maraknya pencarian kerja
ke luar negeri. Ia mengakui adanya peluang kerja legal, namun juga mengingatkan
tentang area "abu-abu" hingga "gelap" yang rawan TPPO.
"Jika kita tidak berhati-hati, niat baik kita untuk
mencari nafkah demi diri sendiri dan keluarga bisa berujung pada jeratan
jaringan TPPO," ujar Pastor Reynold. Ia menekankan bahwa ketika seseorang
terjebak, akan sangat sulit untuk keluar. "Inilah mengapa seminar atau
sosialisasi seperti ini penting, agar kita semua semakin terbuka mata dan hati,
serta bisa ikut terlibat dalam pencegahan TPPO."
Pastor Reynold juga menegaskan bahwa Gereja tidak melarang
masyarakat bekerja di luar negeri asalkan melalui proses yang legal dan aman.
Namun, ia mengingatkan agar masyarakat lebih waspada dan cermat. "TPPO
adalah kejahatan serius yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
ajaran sosial Gereja," tegasnya
Modus dan Komponen
TPPO: Kenali Bahayanya!
Theresia Erni dari Integritas Justita Madani Indonesia
(IJMI), memaparkan secara rinci modus operandi TPPO. Menurutnya, TPPO kerap
melibatkan ancaman, penipuan, dan perekrutan yang bertujuan untuk eksploitasi
manusia.
"Tujuan utama dari praktik TPPO adalah eksploitasi,
yakni memperlakukan seseorang secara tidak manusiawi untuk dimanfaatkan demi
keuntungan pihak lain," jelas Erni. Eksploitasi dapat dilakukan melalui
pemaksaan, penipuan, atau memanfaatkan kelemahan korban.
Bentuk eksploitasi pun beragam, mulai dari kerja paksa,
kekerasan fisik dan psikis, pembatasan komunikasi, hingga pemaksaan memenuhi
target. Erni memberi contoh kasus di mana korban dipaksa bekerja dari pukul
08.00 pagi hingga 02.00 dini hari, disertai ancaman jika target tidak tercapai.
Untuk mengidentifikasi kasus TPPO, Erni menjelaskan tiga
komponen utama:
- Proses:
perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan.
- Cara:
menggunakan ancaman, kekerasan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan.
- Tujuan:
eksploitasi.
Namun, ia menegaskan pentingnya dicatat bahwa untuk kasus
perdagangan anak, komponen "cara" tidak berlaku. "Artinya,
meskipun tidak ada penipuan atau ancaman, jika seorang anak direkrut dan
kemudian dieksploitasi, maka hal itu sudah termasuk TPPO," jelasnya.
Persetujuan anak tidak menjadi pembenaran secara hukum karena anak dianggap
belum mampu membuat keputusan hukum yang sah.
Suster Irena Handayani, OSU, dari komunitas Talitha Kum
Jakarta membawa perspektif mendalam tentang TPPO dari kacamata iman. Ia
mengawali presentasinya dengan pernyataan yang menggugah, “Meskipun dunia tidak
baik-baik saja, kita tetap dipanggil untuk mewartakan kebaikan dan menjadi
berkat bagi siapa saja.”
Suster Irena menyoroti bagaimana persoalan perdagangan orang
kini merambah ke ranah yang identik dengan hal kudus—pasar, bisnis, kejahatan,
dan eksploitasi manusia. “Dunia yang penuh perhitungan cuan, hingga pada titik
mengerikan: manusia dijadikan komoditas,” ucapnya.
Ia mengutip sebuah pernyataan yang mencubit kesadaran: “Saya
bisa jual keluarga satu-satu, karena manusia itu punya nilai jual.” Suster
Irena menegaskan bahwa setiap orang berpotensi menjadi korban, namun juga bisa
tanpa sadar menjadi pelaku. "Mungkin bukan menjual manusia secara
terang-terangan, tetapi ketika seseorang mengeksploitasi orang lain demi
keuntungan pribadi, dalam bentuk apa pun, itu bisa termasuk dalam tindakan
perdagangan orang."
Suster Irena juga menceritakan kisah nyata Paus Fransiskus masih
sebagai Uskup di Amerika yang menerima laporan bahwa 135 anak buah kapal asal
Indonesia terdampar dan menjadi korban perdagangan orang. “Peristiwa ini
menggugah, bahwa TPPO bukan isu jauh, melainkan nyata dan dekat dengan kita,”
imbuhnya.
Ia mengakhiri dengan penekanan kuat, "Jual kangkung
boleh, jual sepatu boleh, jual hasil panen pun boleh. Tapi jual manusia? Tidak.
Tidak boleh. No way."
Sementara Indri Elsa Adrianti dari Underground Railroad
(OUR) memfokuskan presentasinya pada pencegahan pelecehan seksual anak,
khususnya yang melibatkan foto, video, atau gambar digital yang menunjukkan
kekerasan seksual.
Indri menyoroti bagaimana pelecehan anak seringkali terjadi
melalui media sosial, di tengah maraknya informasi bermuatan dewasa. "Oleh
karenanya, peran orang tua dalam pengawasan terhadap anak sangat penting,"
tegasnya.
Ia menyebutkan media sosial seperti Facebook, Instagram,
WhatsApp, dan Mechat harus dalam pengawasan orang tua karena banyak kasus
pelaku melancarkan aksinya melalui platform tersebut, seperti meminta gambar
tidak senonoh anak untuk pemerasan.
Sosialisasi ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat
tentang ancaman nyata TPPO dan meningkatkan kewaspadaan agar tidak terjebak
dalam jaringan yang merugikan dan sulit untuk keluar.
GM