![]() |
Tangkapan layar diskusi online tentang Pers dan politik pada Jumad, (27/6/20225). |
Ketiganya tak hanya menyorot hubungan pers dan politik dalam kerangka demokrasi, tetapi juga mempertanyakan posisi pers hari ini—masihkah sebagai pilar keempat demokrasi, atau sudah menjadi bagian dari kekuasaan?
Bruno Rey Pantola, dosen Ilmu Pemerintahan UNWIRA, membuka diskusi dengan menyoroti fenomena maraknya praktik "pers politik" yang mereduksi independensi jurnalisme. "Kita sedang menghadapi tantangan serius ketika media menjadi alat kekuasaan, bukan pengontrolnya. Demokrasi hari ini sedang diuji oleh relasi kepentingan yang kabur antara politisi dan jurnalis," ujar Bruno.
Senada dengan itu, Ryan Nong, jurnalis dari Pos Kupang, mengungkapkan kegelisahannya atas kondisi kebebasan pers, terutama di daerah. Ia menyoroti tekanan halus hingga terang-terangan dari penguasa terhadap media. "Masih banyak media yang dibungkam, baik melalui iklan, tekanan struktural, maupun kooptasi politik. Kami di daerah sering berhadapan dengan dilema antara idealisme dan kebutuhan bertahan hidup," tutur Ryan.
Sementara Yohanis Yos De Peskim, anggota DPRD Kabupaten Sikka periode 2024–2029, memberikan perspektif dari dalam dunia politik. Ia mengakui bahwa sebagian politisi memanfaatkan media untuk kepentingan elektoral, bahkan ada yang menjalani peran ganda sebagai jurnalis sekaligus politisi. "Kita butuh ekosistem yang sehat antara politik dan pers. Harus ada garis batas yang jelas, agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan," tegas Yos.
Diskusi ini juga memunculkan suara dari peserta yang berharap Rumah Jane dapat menjadi kanal alternatif bagi rakyat kecil. Salah satu peserta menyatakan, "Kami butuh ruang seperti Rumah Jane ini, yang bisa menyuarakan ketimpangan sosial, bukan hanya menjadi penonton."
Jane Natalia Suryanto, pendiri Rumah Jane NTT, menyebut forum ini sebagai bagian dari ikhtiar membangun kesadaran politik masyarakat, terutama di kawasan timur Indonesia. "Kami ingin menjadikan Rumah Jane sebagai rumah bagi demokrasi yang hidup—tempat masyarakat bisa belajar, bersuara, dan mengorganisir diri," ujarnya dalam sambutan pembuka.
Koordinator Rumah Jane, Bedi Roma, menegaskan bahwa inisiatif ini bukan sekadar program temporer. "Sekolah politik ini adalah komitmen jangka panjang. Kita akan terus hadir, baik secara daring maupun luring, untuk memperkuat posisi masyarakat dalam proses demokratisasi," kata Bedi.
Forum ini ditutup dengan refleksi tentang masa depan pers di Indonesia, khususnya di NTT, yang dinilai masih rapuh namun tetap menyimpan harapan. Bahwa di balik tekanan kekuasaan, masih ada ruang bagi jurnalisme kritis dan suara-suara alternatif.
GM