Notification

×

90 Tahun CIJ: Misi Profetik, Tantangan Zaman, dan Peran Gereja Lokal

Sabtu, 01 Maret 2025 | Maret 01, 2025 WIB Last Updated 2025-02-28T17:44:21Z
Gambar dari kiri ke kanan, Moderator Arianto Zany Namang, Narasumber I Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, Narasumber II Suster Dr. Benedikta Yosefina Kebingin, S.Pd., Lie.Theol., Narasumber III Prof. Dr. Antonius Eddy Krisyanto. Foto: Gega Making
Jakarta, Fakta Line - Dalam memperingati 90 tahun berdirinya Congregatio Imitationis Jesus (CIJ), sebuah diskusi dan bedah buku bertema "Tindakan Profetik dalam Aktualisasi Misi: Refleksi 90 Tahun CIJ" digelar di Aula Paroki Gereja St. Yoseph Matraman, Jakarta Timur, Jumat (28/2). Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang akademik dan keagamaan.


Diskusi ini dimoderatori oleh Arianto Zany Namang, dengan pembukaan oleh Suster Dr. Benedikta Yosefina Kebingin, S.Pd., Lie.Theol. Dalam sambutannya, Suster Benedikta mengajak peserta untuk merenungkan dasar Kristologis Yohanes 20:21: Sebagaimana Bapa mengutus Aku, Aku juga mengutus kamu. Ia menegaskan bahwa tugas perutusan adalah panggilan bagi setiap individu.


Dalam sesi pemaparan materi, Prof. Dr. Antonius Eddy Krisyanto, OFM, menyoroti latar belakang berdirinya CIJ yang didirikan oleh Mgr. Henricus Leven, SVD, pada 15 Maret 1935 di Jobu. “Sejarah CIJ terbagi dalam tiga periode utama: embrional, institusional, dan lokakarya,” jelasnya. Ia juga menyebut bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) sering disebut sebagai wilayah salib, terutama di Sulawesi Utara, mengingat mayoritas penduduknya beragama Kristen.


Dalam analisisnya, Prof. Antonius menyoroti bagaimana kolonial Belanda berinteraksi dengan bangsa Prancis yang beraliran Kalvinis. “Abad ke-19 di Eropa adalah abad aerobatik,” katanya, merujuk pada dinamika penyebaran agama di masa itu. Ia menambahkan, “Kristianitas bertumbuh dari dalam dan menyebar luas, bukan hanya datang dari luar.”


Melalui via zoom, Prof. Dra. Francisia Saverina Sika Ery Seda, M.A., Ph.D., dalam pemaparannya, menyoroti aspek gender dalam kehidupan membiara bagi perempuan di NTT. “Secara budaya, NTT sangat kental dengan sistem patriarki yang konservatif,” ujarnya.


Ia mempertanyakan sejauh mana aktualisasi budaya dapat diadaptasi oleh suster CIJ dalam menghadapi tantangan zaman. “Memilih hidup membiara bisa dianggap sebagai suatu tindakan ‘kegilaan’ di tengah banyaknya pilihan lain bagi perempuan masa kini,” tambahnya.


Sementara Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD, menegaskan bahwa Mgr. Henricus Leven, SVD, berperan sebagai jembatan kehidupan antara para misionaris dan gereja lokal. “Kemandirian personal, finansial, serta kepekaan terhadap perbedaan budaya sangat penting untuk mencapai harmoni,” tuturnya.


Dalam sesi tanya jawab, berbagai persoalan sosial di NTT menjadi sorotan, termasuk perdagangan manusia, perampasan tanah adat, dan peran gereja dalam menanggapi persoalan ini. Seorang peserta menanyakan bagaimana CIJ turut bergerak dalam keberpihakan kepada kaum perempuan. Suster Benedikta menjawab, “Kami menjalankan berbagai program, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TKK), sekolah keputrian, hingga pemberdayaan perempuan melalui keterampilan menjahit.”


Ia  juga mengatakan bahwa CIJ aktif mengunjungi desa-desa, mendirikan panti asuhan bagi perempuan dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), serta berupaya meminimalisasi kasus perselingkuhan melalui pendidikan nilai-nilai moral.


Menanggapi peran gereja dalam isu sosial, para narasumber sepakat bahwa gereja harus aktif terlibat. “Persoalan kemanusiaan di manapun, gereja harus hadir,” ujar Uskup Agung Ende. Gereja lokal diharapkan mampu berbaur dengan komunitas yang ada, berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat dan kerja sama lintas sektor.


Acara ini menjadi momentum refleksi bagi CIJ dalam mengaktualisasikan misinya di era modern, sembari tetap berpijak pada nilai-nilai spiritual dan sosial yang telah diwariskan selama 90 tahun perjalanan kongregasi ini.

Ino Making